Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

AI: Pemicu Malas Membaca Atau Solusi Cerdas?

Gambar Ilustrasi 

Coba kamu bayangkan AI itu seperti kalkulator, sedangkan membaca buku itu seperti belajar matematika dari dasar. Memang benar bahwa kalkulator bisa membantu kamu menghitung dengan cepat tanpa perlu pusing-pusing menjumlahkan angka satu per satu. Tapi, kalau kamu hanya mengandalkan kalkulator terus tanpa belajar matematika, kamu tidak akan paham konsep dasar matematika. Dan kalau kalkulator tersebut rusak, maka kamu akan bingung bagaimana cara menjumlahkan, mengalikan, membagi,  bahkan mengurangkan sebuah tugas yang akan kamu kerjakan.

Begitupun juga dengan AI. Memang benar, AI memudahkan dan mempercepat mencari jawaban, tapi jika kamu tidak membaca dan memahami sendiri, kamu tidak akan pernah memahami materi atau tugas yang telah kamu pelajari. Jadi, AI harus bisa digunakan sebagai alat bantu, bukan pengganti belajar dan membaca buku secara mendalam. Dengan begitu, kemauan berpikir dan pemahaman kamu akan tetap kuat dan tidak tergantung sepenuhnya pada AI.

Lenang Manggala pernah mengatakan “ cara terbaik untuk meningkatkan kualitas karakter, kompetensi, dan kesejahteraan hidup seseorang adalah dengan menanamkan budaya literasi membaca, berpikir, menulis, berkreasi).” Dan Albert Einsten juga pernah berkata “aku takut pada hari dimana teknologi akan melampaui interaksi manusia. Dunia akan memiliki generasi yang idiot.” Kutipan tersebut bukan hanya berbicara pada etika manusia, tetapi juga mencangkup bagaimana manusia bisa membudidayakan literasi membaca terutama membaca buku.

AI (Artificial Intelligence) adalah sebuah perangkat teknologi yang dapat mempermudah kehidupan manusia, baik dibidang pemecahan masalah, membantu proses belajar dan masih banyak manfaat lainnya. Namun, AI juga berdampak buruk pada kehidupan manusia khususnya di Indonesia, diantaranya adalah menurunkan budaya literasi membaca. Menurut UNESCO, Indonesia berada di peringkat kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat membaca masih sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan yakni hanya 0,001%. Padahal jika dihubungkan dengan perkembangan teknologi saat ini, sangat banyak media cetak dan media elektronik yang bisa dipakai untuk mengembangkan literasi masyarakat. Begitupun halnya di dunia pendidikan, mahasiswa tidak hanya berfokus pada isi buku tetapi mereka bisa mencari dari handphone yang sudah tersedia banyak sekali flatform AI seperti ChatGPT, Perplexity dan lainnya yang bisa membantu mereka dalam mendapatkan wawasan yang luas.

Namun sayangnya, sebagian besar mahasiswa salah memanfaatkan media/platform tersebut karena sebagian besar mahasiwa tidak lagi menggunakan platform tersebut sebagai pembantu ketika materi yang mereka cari tidak ada di dalam buku. Tetapi mereka menggunakannya sebagai cara satu-satunya untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen tanpa mengubah frasa kata yang diberikan AI tersebut. Ketergantungan ini disebabkan oleh beberapa alasan, mungkin karena keterbatasan buku yang tersedia di perpustakaan, ribetnya syarat untuk meminjam buku di perpustakaan, dan masih banyak alasan lainnya. Sehingga hal tersebut membuat mahasiswa memilih menggunakan platform AI tersebut sebagai bahan utama pembelajaran.

Sehingga hal tersebut membuat mahasiswa meninggalkan budaya membaca dan mengerjakan semua tugas kuliahnya berdasarkan hasil AI bahkan tidak jarang ditemukan mahasiswa tidak pernah paham akan apa yang mereka tulis atau kerjakan karena bahasa yang mereka dapat adalah bahasa AI bukan hasil penalaran atau pengetahuan yang mereka pahami. Dan tanpa disadari hal ini akan sangat berdampak buruk pada masa yang akan datang karena selalu berkegantungan sama hasil AI. Lantas akankah buku hanya dipajang di rak perpustakaan dan tidak pernah dibuka sama sekali atau bahkan sampai berdebu? Atau apakah buku tidak perlu lagi di masa yang akan datang? .

Sehingga dapat disimpulkan, bahwa sebenarnya menggunakan platform AI bukanlah hal yang dilarang dan bahkan ini tidak bisa ditinggalkan. Akan tetapi, mahasiswa tidak boleh hanya mengandalkan jawaban yang instan yang diberikan oleh AI tersebut. Mahasiswa harus mengutamakan mencari terlebih dahulu dari buku cetak yaitu dengan membaca dengan teliti seperti apa maksud materi yang dicari. Namun, jika tidak ada pilihan yang lain, mahasiswa bisa mengggunakan AI dengan syarat jawaban yang diberikan AI tersebut tidak langsung di Copy Paste melainkan difrasa terlebih dahulu. Dengan demikian dalam tugas tersebut tidak menggunakan bahasa AI tetapi hasil dari penalaran dan pemikiran mahasiswa. Sehingga saat dosen bertanya terkait tugas yang diberikan sebelumnya, mahasiswa akan bisa menjawab secara spontan dan benar karena sudah mengerti dan paham.



Penulis : Madingin Simanjuntak 

Editor   : Redaksi Jurista